Meteor dari Tepi Jalan

Jumat

Dia, gambaran manusia Indonesia sejati yang tak pernah merasa susah, tak pernah gelisah, tak pernah sedih, dan selalu tertawa meski diledek orang tetap saja tertawa, tak pernah dendam, tak membalas ledekan."

Begitulah budayawan Emha Ainun Najib menggambarkan karakter Mbah Surip, penyanyi jalanan yang kemudian menjadi fenomenal lewat lagunya "Tak Gendong ke Mana-mana."

Pada pertengahan 2009,  Mbah Surip kerap muncul di layar televisi. Penonton pasti ingat dengan tawa khasnya. Dandanannya nyentrik dengan rambut gimbal. Kalimatnya “I Love You Full” menjadi trend. Ring Back Tone lagunya juga laris manis. Dia menjadi bintang iklan.

Rezeki Surip pun membaik. Dari pengamen jalanan, dia naik ke kehidupan selebritas. Sewaktu lagunya meledak, dia naik “kelas” sedikit. Untuk urusan bisnisnya, dia tak naik ojek, atau bis lagi. Surip berhasil membeli mobil walaupun kelas mini van.

Tapi Surip tetaplah Surip. Dia hidup di tepi jalan. Makan di warung pinggir jalan, dan terlelap di satu kamar kontrakan butut, di gang sempit di Kelurahan Cipayung, Jakarta Timur. Tariff kamarnya cuma Rp 300 ribu per bulan. Pecandu berat kopi ini tetap akrab dengan teman-teman pengamennya.

Tak ada soal, apakah lagunya bermutu atau tidak. Tapi Mbah Surip berkesenian dengan jujur. Dia tampil apa adanya. Dia, seperti yang kerap diungkapnya, hanya ingin membagi kebahagiaan dengan orang lain dengan tulus.

Cukup bahagiakah Mbah Surip? Tak pernah jelas cerita riwayat hidupnya. Surip adalah pria kelahiran 5 Mei 1949 di Mojokerto, Jawa Timur. Orang tuanya memberi nama Urip Ariyanto.
Soal pendidikan, Mbah Surip sih mengakunya berpendidikan tinggi. Insinyur tambang. Lain kali dia bilang dia pernah belajar filsafat. Dia juga mengaku kerja di pertambangan. Bahkan beberapa kali ke luar negeri.

Ironisnya, dia ke Jakarta hanya bermodal sepeda. Sejak 1989, dia menggelandang dan mengamen di Bulungan, Blok M, Jakarta Selatan. Tidur pun lebih sering di emperan toko. Sejak itu pula dia menggimbalkan rambutnya, mengikuti gaya Tony Rastafara, seorang musisi reggae di kawasan Bulungan.

Selain di Bulungan, Mbah Surip juga kerap nongol di Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat. Emha sering mengundangnya pada kenduri cinta di TIM ini, dan Mbah Surip menjadi salah satu ikon kenduri cinta. Dia biasanya datang dengan gitarnya.

Berada di panggung, dia membuat jamaah kenduri cinta terpingkal-pingkal. Dia biasanya memulai dengan tawanya yang khas, lalu dilanjutkan dengan “I Love You Full”. Sering kali dia membawakan lagu-lagu karyanya sendiri bak orang mengoceh asal-asalan, kadang seperti kesurupan.

Dari Bulungan dam TIM inilah Mbah Surip banyak melahirkan album. Di antaranya adalah "Ijo Royo-royo" (1997), “Indonesia“ (1998), “Reformasi” (1998), “Tak Gendong” (2003) dan “Barang Baru” (2004). Album ini bukan dirilis perusahaan musik, tapi dia rekam lalu edarkan sendiri. Didistribusikannya di warung dan toilet umum di seputar Blok M dan Ancol.

Baru pada April 2009, perusahaan rekaman Falcon menemukan si Mbah dan melihat peluang pada lagu-lagu sederhana, lugu, dan kocak itu. Mereka memilih 10 lagu, termasuk “Tak Gedong” dan “Bangun Tidur”, melemparnya ke pasar, dan meledak di pasaran. Nasib Mbah Surip pun berubah.

Surip melejit, mungkin karena orang merindukan kejujuran, atau kehidupan sederhana yang tak dibuat-buat. Atau juga kehidupan di metropolitan yang penat ini membutuhkan oase lain, semacam ‘kegilaan’ untuk berani menertawakan hidup, dan diri sendiri.

Itu sebabnya, Mbah Surip, yang salah satu liriknya justru menganjurkan perlawanan atas rutinitas (bangun tidur, tidur lagi …) seperti mengejek betapa masyarakat kota hidup begitu mekanis, datar, dan juga kering.
Dia menawarkan solidaritas lain, misalnya seperti terselip pada lirik lagu “tak gendong ke mana-mana” itu. Surip menawarkan kehangatan, agak nyeleneh, tapi orang senang dan tertawa.

Tapi kebahagiaan Surip itu begitu cepat tamat. Pada Selasa 4 Agustus 2009, dia meninggal karena sakit. Mungkin terlalu lelah karena tawaran manggung membludak. Mbah Surip meninggalkan empat anak dan empat cucu.

Mbah Surip dimakamkan di Bengkel Teater, Depok, Jawa Barat. Makam itu milik penyair nasional WS Rendra, sahabatnya yang juga ternyata turut berpulang tak lama setelah kematian Surip.

Pengamen jalanan itu mengajarkan pada banyak orang bahwa ketulusan dalam berkesenian, kejujuran dan kesederhanaan, adalah sebuah kekuatan. Meski keberhasilannya itu seperti nyala sebuah meteor: melintas sejenak, lalu sirna.




from